Pergaulan Metropolitan ala Mahasiswa
MENJADI mahasiswa sangat diidamkan oleh sebagian anak muda. Terbukti, pendaftar perguruan tinggi (PT), baik negeri maupun swasta, dari tahun ke tahun selalu meningkat.
Mahasiswa ditempatkan pada strata tinggi di masyarakat. Mereka diberi predikat agen perubahan, sosok idealis, cerdas, pandai, sukses, dan dikenal sebagai penggerak reformasi. Barangkali itulah yang membuat kaum muda berebut ingin menjadi mahasiswa.
Namun ada hal lain yang perlu diperhatikan calon mahasiswa. Itulah pergaulan dan gaya hidup. Gaya hidup mahasiswa berbeda dari siswa. Siswa masih sepenuhnya dibimbing guru di sekolah. Adapun mahasiswa dianggap sebagai orang dewasa yang dibebaskan memilih sendiri.
Jangan lupa, mahasiswa wajib menjaga nilai-nilai luhur di masyarakat. Jangan malah merusak tatanan moral. Coba perhatikan pergaulan metropolitan ala mahasiswa saat ini. Tata krama dan sopan santun dilupakan. Dengan alasan agar diterima dalam komunitas, mahasiswa terbawa arus pergaulan bebas. Sikap labil dan mencari jati diri membuat mereka mudah terprovokasi. Karena itu, sebagai orang dewasa, kita harus mampu membedakan yang baik dan buruk serta tetap menjadi diri sendiri.
Aktivitas mahasiswa yang hanya kos, kampus, dan kantin menambah besar peluang untuk dunia gemerlap (dugem) — pergaulan yang tak bermanfaat. Mahasiswa tipe itu memiliki banyak waktu luang untuk hura-hura yang tak jelas.
Sebaiknya salurkan kreativitas untuk kegiatan yang jelas dan bermanfaat. Bergabunglah dengan unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang sesuai dengan minat dan bakat sehingga jadi solusi untuk menyalurkan waktu, tenaga, dan pikiran ke hal positif dan jelas.
Busana Mahasiswa
Pergaulan metropolitan juga ditunjukkan oleh ikon mahasiswa di televisi. Mahasiswa di televisi mengenakan busana minim dan terbuka. Mereka bergaya mewah dan dandanan wah. Apakah seperti itu potret mahasiswa? Wibawa seseorang dilihat dari busana yang dipakai. Bagaimana mahasiswa bisa dikatakan berwibawa jika busana yang dikenakan jauh dari kesan pantas?
Gemerlap busana mahasiswa di kampus menunjukkan ada persaingan. Kuliah jadi ajang fashion show. Kondisi itu timpang dengan pendidikan karakter yang dipromosikan. Apakah pendidikan karakter hanya untuk siswa? Ataukah mahasiswa juga harus dibekali mata kuliah pendidikan karakter?
Kafe, mal, salon, dan pusat hiburan jadi tempat wajib bagi mahasiswa, selain kampus. Bahkan tak jarang mereka rela mengeluarkan dana lebih besar untuk keperluan itu daripada kepentingan tugas di kampus.
Peran Orang Tua
Waspadalah terhadap pergaulan metropolitan yang glamor. Terbiasalah mengolah rasa. Yang tidak baik, hindarilah. Jika telah masuk dalam pergaulan yang salah akan lebih sulit kembali. Ingatlah pada tujuan awal, hijrah dari kampung halaman ke kampus untuk menuntut ilmu. Jangan sampai euforia sebagai mahasiswa yang dianggap berstatus lebih tinggi lantas melupakan akhlak yang dipelajari sejak kecil.
Kondisi mahasiswa yang sebagian besar perantauan, jauh dari keluarga, membuka peluang masuknya pergaulan bebas. Mereka tinggal mandiri di kos atau kontrakan, tanpa orang tua, keluarga. Di sinilah peran orang tua diperlukan untuk membangun komunikasi berkualitas dengan anak. Pola kontrol oleh orang tua mestinya jadi benteng bagi mahasiswa dari pengaruh buruk di sekitarnya.
Jangan sampai orang tua sebatas mesin ATM, yang memenuhi kebutuhan finansial anak, tetapi tak tahu uang itu untuk apa. Orang tua juga perlu memantau aktivitas anak selain kuliah dan mengenal teman-teman mereka. Meski telah berstatus mahasiswa, mereka tetap saja anak bagi orang tua.
Tak semestinya orang tua hanya mengandalkan komunikasi tidak langsung seperti SMS atau telepon. Komunikasi langsung tetap penting. Orang tua yang tidak pernah jadi mahasiswa pun tak lantas melepaskan anak begitu saja di dunia kampus. Mereka juga wajib bertanya tentang kegiatan anak di kampus. Itu semata-mata agar para orang tua memahami iklim kampus dan menjaga keselamatan anak dari pengaruh buruk. (51)